Senin, 18 Mei 2009

elbayinnah ichwana
















Elbayinnah ichwana by POCONGRIDER
pencil on paper
2009

Rabu, 29 April 2009


judul : Emansipasi Itu?
size : 45 cmX 60 cm
Media : Oil on Canvas
Tahun : 2009
Artist : Abdu Zikrillah

Sabtu, 25 April 2009

NIRMANA 3 DIMENSI

Yea, ini dia mata kuliah yang bikin mahasiswa pusing. Entah cara ngajar dosen yang bikin bingung atau mahasiswa sendiri yang butek. Yang jelas kawan-kawan koloni resah banyak sekali yang kebingungan apa itu nirmana 3 dimensi. Kebingungan ini biasa terjadi pada mahasiswa yang baru belajar nirmana, jadi, ente gak usah ngerasa bego kalo ngerasa bingung apa yang harus dibikin. Yang jago ngegambar juga biasa puyeng kalo disuruh bikin nirmana.
Nirmana bisa diartikan “tidak berbentuk”. Dosen tidak pernah memberi tahu apa definisi nirmana. Definisi ini penulis dapet dari seorang senior yang sok tau (Senior memang biasa sok pinter, sok ganteng, dan sok kuasa, tapi maafkanlah kelakuan mereka. Mereka masih anak-anak).Di kampus lain disebut juga trimatra atau desain trimatra. Jangan Tanya gimana kampus di jerman menyebutnya. Soal itu baiknya anda sendiri yang cari ilmunya yah! Nirmana ini terbagi dua, yang satu adalah nirmana 2 dimensi (disebut juga nirmana datar) yang bentuknya adalah gambar, dan satu lagi nirmana 3 dimensi yang bias dilihat dari berbagai arah. Tulisan ini hanya membahas nirmana 3 dimnsi saja.
Nah, berdasarkan definisi “tidak berbentuk” tadi, maka dalam membuat sebuah karya nirmana usahakan jangan bikin bentuk yang manusia sudah memberinya nama. Contoh misalnya “monumen”. Jangan pernah bikin miniatur monumen atau nilaimu akan buruk. Contoh lain misalnya “robot lalat”, wah itu salah besar maaaaan! Kalo bikinnya robot Gundam sebaiknya anda beli action figurenya saja.
Lantas bentuk apakah yang sebaiknya dibuat?
Pertanyaan bagus dan agak mengecoh. Jadi intinya buatlah suatu bentuk yang baru dengan memperhatikan aspek Irama, gerakan, dan unsur-unsur efek lainnya. Jika ada orang yang bilang karyamu itu seperti petromak atau benda lainnya, berarti kamu belum sukses dan dipersilakan menangis terkaing-kaing.
Bingung? Barangkali gambar-gambar ini bisa membantu.


Nirmana 3d karya M. Irvan, mahasiswa kopo (kodokphobia). Perhatikan bagaimana bentuk kotak itu bergerak berputar dari bawah ke atas dan ke berbagai arah. Manusia tak akan tahu ini benda apa. Nah bentuk seperti inilah yang harus anda buat.


Contoh lain karya Oktaviyus Belle. Perhatikan susunannya yang pendek berubah ke yang tinggi.

Karya Junaidi Agon. Efek berputar yang bagus sekali.

Tapi, karya karya diatas ternyata tidak bisa dilihat dari bawah, sebab terhalangi oleh alas, dan ini menjadi nilai minus bagi karya-karya tersebut. Coba kamu balikkan karya tersebut, maka yang akan kamu lihat adalah alas tempat karya tersebut menempel. Ingatlah bahwa 3 dimensi itu harus bisa dilihat dari berbagai arah. Pakai alas bukannya salah sih, tapi kurang baik aja. Ini contoh yang paling baik.


Karya Mamun Cool. Tak ada alas sama sekali sehingga bisa dilihat dari berbagai arah. Bujur sangkar yang tersusun seolah bergerak berputar dan semakin mengecil di bagian atasnya. Ini contoh yang bagus.

Karya Pocongrider. Susunannya sudah bagus, tapi bentuknya menyerupai lampu taman atau petromak. Ini bukan contoh yang bagus jadi jangan ditiru.

Oiya, karya-karya tersebuat dibuat dari bahan polyfoam dan ditempel dengan lem. Polifoam sejenis busa yang lebih padat dari stereofoam. Sifatnya agak lentur tapi akan patah bila dilipat. Tebalnya macam-macam dan harganya juga cukup murah. Cocok dipakai untuk berkreasi ngabisin waktu buat yang pengangguran. (pocong)

Rabu, 15 April 2009

Mau duit kagak???

nih klik disini


Web Hosting

Selasa, 14 April 2009

BOKEP BUKAN SENI

Sebenarnya tak ada kontroversi baru sekitar pornografi. Porne (yunani) berarti wanita jalang. Yang menjadi perdebatan biasanya mengenai mengapa suatu karya telanjang dianggap seni sedangkan karya telanjang lain adalah porno. Misalnya foto-foto syur Sophia Latjuba dianggap porno sedangkan lukisan karya affandi berjudul “Telanjang” (1947) dianggap sebuah seni. Kalimat-kalimat pembelaan yang biasa dikeluarkan kaum liberalis umumnya lemah, namun prinsipal karena beralasan estetika dan kebebasan pers.

Mengenai porno atau bukan, bahasa teori estetika menjawabnya dengan teori “tradisional”, perbedaannya berada pada cara apa yang digunakan untuk memperlakukan perempuan dengan ketelanjangannya itu. Kuncinya adalah “pengalaman estetik” yang dirumuskan dalam 3-D, Disinterestedness (tak berpamrih), Distance (berjarak-secara emosional), dan Detachment (tak terserap). Contoh misalnya lukisan karya Affandi dan foto Sophia Latjuba. Dalam karya Affandi orang akan mendapatkan pengalaman estetik, pengalaman yang tidak berpamrih apa-apa, tidak tercerap, dan tetap berjarak. Sedangkan Sophia Latjuba mengundang pamrih, terserap, dan mengundang orang terlibat. Selain itu karya Affandi mengandung unsur intrinsik yang bertujuan untuk dirinya sendiri, membangun situasi kontemplatif bagi peminatnya. Sedangkan foto panas menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu, memaksa, dan seterusnya). Dalam bidang pornografi ini, pengasuh media mempunyai “segmen pasar” tersendiri. Lukisan Affandi sebenarnya bisa saja mengundang birahi jika penontonnya sendiri belum cukup memiliki kesiapan, pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari melihat lukisan yang dilihatnya. Pers berdalih foto syur juga adalah seni dengan berargumen bahwa penonton bisa menikmati keindahan tubuh dengan pose mana sukanya berkat kreatifitas dan teknik pencayahaan.

Begitulah penjelasan menurut teori estetika modernis. Teori estetika modernis mendapat tentangan dari kaum post-modernis (posmo). Kaum posmo juga memiliki pendangan tersendiri mengenai pornografi.

Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya).

Bagi posmo tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman firaun maen dingdong sampai ke zaman mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Karya telanjang, apakah lukisan, patung, atau foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?

Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita. Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, tidak ditentukan oleh suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni untuk rakyat. Liberalis memperjuangkan apa yang disebutnya humanisme universal dengan semboyan seni untuk seni. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses penistaan martabatnya sendiri.

See? baik estetika modernis maupun posmo, sama-sama menolak pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmo juga merekomendasikan pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun baru.

Bila anda merasa bingung dalam memahami apa itu pornografi menurut modernis atau posmo ikuti saja ajaran islam. Repot sekali dan sangat tidak masuk akal membedakan wanita bugil dan wanita telanjang yang esensinya sama saja tridak berpakaian. Islam mengajarkan bahwa porno adalah membuka aurat. Porno atau bukan tidak ditentukan oleh sudut pandang siapa yang berkarya. Tidak ditentukan sudut pandang mana yang dipakai dalam menilai. Tidak seharusnya kita menghalalkan pelacuran dengan berpandangan seperti seorang germo bukan?

Lantas bagaimana nasib masyarakat tradisional yang masih telanjang? Papua misalnya.

Tulisan ini bukan untuk menghakimi bahwa orang Papua itu pornokrat. Begitu pula RUU APP bukan untuk menangkapi orang Papua. Bukan pula menyuruh rakyat agar berpakaian ala Arab. Semua ini bertujuan untuk “memanusiakan manusia”. Baik aturan Islam maupun RUU APP adalah untuk membuat mereka lebih beradab ditengah masyarakat dengan suasana globalisasi yang kental ini. Lagi pula, orang Papua itu senang kok diberikan pakaian. Bahkan di suatu film dokumenter, seorang gadis Papua berkata bahwa dia merasa prihatin melihat wanita-wanita di ibu kota. Menurutnya, wanita di ibukota itu sedang “belajar telanjang.”. Jujur sajalah, kalian pun mahasiswa yang pernah menertawakan ketelanjangan mereka bukan? Bayangkan perasaan orang Papua jika mereka tahu kalian menertawakannya.

Bagaimana cara seseorang menyimpulkan sesuatu benar atau salah memang bergantung pada informasi apa saja yang sudah didapat dan atas dasar apa dia berpijak. Jika anda seorang muslim, nilailah pornografi dan ketelanjangan sebagaimana ajaran islam menilainya. Mungkin munafik jika kita harus menggunakan ajaran islam dalam menilai sedangkan kita menyukai apa yang dilarang Islam, tapi sesungguhnya amat sangat lebih munafik bila kita mengaku beragama islam tapi dalam hati kita tidak mau mematuhi islam.

Ini bukan tergantung dengan perilaku manusia. Ini tergantung dengan sistem kawan!!!

(pocong, dari berbagai sumber)

Selasa, 24 Maret 2009




Huhuy!!!
Gambar bikinan si pocong waktu malem maen ke kosannya si Gin Gin. Bosan maen gapleh diapun beranjak ke depan komputer dan langsung menghajar photoshop dengan garang. Lumayan juga gambarnya.

KOLORESAH

Dan akhirnya kumulai juga tulisan ini. setelah sekian lama termenung dalam lamunan. Kolorku sepertinya senang melihatku bergerak menulis. Sebab sudah sekitar satu bulan ini aku diam tak mengeluarkan suatu karya pun. Yah, kolorku merasa senang. Sebenarnya sih celana pendek yang kata orang disebut boxer. Tapi aku lebih suka memanggilnya celana kolor. Itu panggilan sayangku padanya, toh dia pun tak marah padaku.
Sekitar dua bulan yang lalu aku dan seorang temanku berjalan-jalan mencari angin. Malam itu cukup sejuk sebenarnya, tapi yah iseng saja, tamba kesel kata orang sunda mah. Malam itu sepi, dan dingin. Aku berjalan bersama temanku itu menuju suatu tempat sepi,hingga terjadilah…
Aku mencuri sebuah spanduk partai!!!!!!
Dan kini spanduk itulah yang menjadi celana kolorku. Dia senang aku curi. Dia tak rela menjadi spanduk yang dijemur di bawah terik matahari di kota sial bernama bandung ini. Terlebih dia digunakan sebagai alat untuk membodohi rakyat. Yah, kepentingan politik busuk demi kemenangan pemilu. Kupikir kasihan juga spanduk itu, toh kalaupun dia tak kuambil pasti setelah pemilu usai dia akan dibuang. Kalaupun dimanfaatkan paling jadi penghalang sinar matahari atau jadi kain lap di salah satu warteg di lingkungan terminal ledeng. Wahahaha! Beruntung sekali kau kain spanduk!!! Untung kau “kuselamatkan”, kalau tidak mampuslah kau!
Kolorku ini punya hobi, dia senang curhat dengan si atun, asbak berbentuk gelas yang kubuat dari kaleng soft drink. Dia sering curhat padanya, dan aku juga kadang mencuri dengar isi curhatan mereka. Suatu ketika disore yang hangat, kudengar dia curhat. DIa bilang senang sekali bisa jadi benda pakai. Dia amat bangga jadi kolorku. Dia bahkan mencibir beberapa lukisan abstrak buatanku. Katanya lukisan abstrakku itu tak berguna. Aku termenung mendengarnya. Kupikir benar juga apa katanya. Apa sih gunanya lukisan abstrak itu? Hanya coretan-coretan asal yang motifnya tak lebih bagus dari lap di bengkel bang Jamal. Dan kupikir semua lukisan abstrak itu tak berguna. Memangnya coretan seperti itu menghias? Masih lebih bagus lukisan pemandangan kan, bisa dipajang di ruang tamu. Oke baiklah, aku takkan membuat lukisan abstrak lagi, begitu pikirku saat itu.
ah aku jadi berpikir soal masa lalu. Dulu, jauh sebelum dunia ini dinodai oleh universitas, terminal, gedung DPR, dan Mal, tidak ada yang namanya ketidak bergunaan. Semua yang ada memiliki fungsi dan tujuan yang jelas. Gambar babi yang sekarat tertusuk tombak, nekara, semua itu memiliki tujuan yang jelas. Namun sekaranglah zaman manusia yang katanya beradab muncul kosa kata baru, “ketidak-bergunaan”. Dan itulah hal yang amat disukai manusia. Lihatlah betapa mahalnya harga lukisan sebuah, yang tak seberapa bagusnya, yang ,aaaah, gua juga bisa bikin!!!
Well, apakah seni itu tidak berguna? Hmm, sepertinya terlalu naïf bila aku ambil kesimpulan sekarang. Di kampus dosen sudah mengajariku apa gunanya seni. tapi, ah, persetan dengan itu semua! Siapa yang peduli omongan dosen? Apa lagi kalau yang ngajarnya adalah dosen jeprut yang keblinger, sok seni tapi gak punya spiritualitas. Padahal dia sudah bau tanah. {Ada yang tersinggung? Maaf, tapi saya sedang tidak membicarakan siapa-siapa lho!}
Batinku sebenarnya berkata bahwa aku lebih senang jika karyaku bermanfaat bagi orang lain. Dalam hal ini aku tidak membicarakan fungsi seni secara personal, individual, seni sebagai pengendali social, atau apalah itu. Maksudku, aku berkarya untuk dipakai. seperti misalnya dua batang kayu kecil yang diukir lalu menjadi sumpit buat makan mie ayam, atau tanah liat yang dipipihkan lalu menjadi piring, itu yang kumaksud. Lho kalau begitu mah namanya kriya dong!!! Ehehehe, iya kali kriya. Ah pokoknya aku ingin karyaku berguna.
Dan sungguh aku akan merasa senang kalau tulisanku ini akhirnya jadi pembungkus gorengan.Hahaha, aku sudah menghasilkan karya yang berguna.
Dan kolorkupun ikut tertawa. (pocongrider)