Selasa, 14 April 2009

BOKEP BUKAN SENI

Sebenarnya tak ada kontroversi baru sekitar pornografi. Porne (yunani) berarti wanita jalang. Yang menjadi perdebatan biasanya mengenai mengapa suatu karya telanjang dianggap seni sedangkan karya telanjang lain adalah porno. Misalnya foto-foto syur Sophia Latjuba dianggap porno sedangkan lukisan karya affandi berjudul “Telanjang” (1947) dianggap sebuah seni. Kalimat-kalimat pembelaan yang biasa dikeluarkan kaum liberalis umumnya lemah, namun prinsipal karena beralasan estetika dan kebebasan pers.

Mengenai porno atau bukan, bahasa teori estetika menjawabnya dengan teori “tradisional”, perbedaannya berada pada cara apa yang digunakan untuk memperlakukan perempuan dengan ketelanjangannya itu. Kuncinya adalah “pengalaman estetik” yang dirumuskan dalam 3-D, Disinterestedness (tak berpamrih), Distance (berjarak-secara emosional), dan Detachment (tak terserap). Contoh misalnya lukisan karya Affandi dan foto Sophia Latjuba. Dalam karya Affandi orang akan mendapatkan pengalaman estetik, pengalaman yang tidak berpamrih apa-apa, tidak tercerap, dan tetap berjarak. Sedangkan Sophia Latjuba mengundang pamrih, terserap, dan mengundang orang terlibat. Selain itu karya Affandi mengandung unsur intrinsik yang bertujuan untuk dirinya sendiri, membangun situasi kontemplatif bagi peminatnya. Sedangkan foto panas menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu, memaksa, dan seterusnya). Dalam bidang pornografi ini, pengasuh media mempunyai “segmen pasar” tersendiri. Lukisan Affandi sebenarnya bisa saja mengundang birahi jika penontonnya sendiri belum cukup memiliki kesiapan, pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari melihat lukisan yang dilihatnya. Pers berdalih foto syur juga adalah seni dengan berargumen bahwa penonton bisa menikmati keindahan tubuh dengan pose mana sukanya berkat kreatifitas dan teknik pencayahaan.

Begitulah penjelasan menurut teori estetika modernis. Teori estetika modernis mendapat tentangan dari kaum post-modernis (posmo). Kaum posmo juga memiliki pendangan tersendiri mengenai pornografi.

Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya).

Bagi posmo tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman firaun maen dingdong sampai ke zaman mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Karya telanjang, apakah lukisan, patung, atau foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?

Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita. Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, tidak ditentukan oleh suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni untuk rakyat. Liberalis memperjuangkan apa yang disebutnya humanisme universal dengan semboyan seni untuk seni. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses penistaan martabatnya sendiri.

See? baik estetika modernis maupun posmo, sama-sama menolak pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmo juga merekomendasikan pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun baru.

Bila anda merasa bingung dalam memahami apa itu pornografi menurut modernis atau posmo ikuti saja ajaran islam. Repot sekali dan sangat tidak masuk akal membedakan wanita bugil dan wanita telanjang yang esensinya sama saja tridak berpakaian. Islam mengajarkan bahwa porno adalah membuka aurat. Porno atau bukan tidak ditentukan oleh sudut pandang siapa yang berkarya. Tidak ditentukan sudut pandang mana yang dipakai dalam menilai. Tidak seharusnya kita menghalalkan pelacuran dengan berpandangan seperti seorang germo bukan?

Lantas bagaimana nasib masyarakat tradisional yang masih telanjang? Papua misalnya.

Tulisan ini bukan untuk menghakimi bahwa orang Papua itu pornokrat. Begitu pula RUU APP bukan untuk menangkapi orang Papua. Bukan pula menyuruh rakyat agar berpakaian ala Arab. Semua ini bertujuan untuk “memanusiakan manusia”. Baik aturan Islam maupun RUU APP adalah untuk membuat mereka lebih beradab ditengah masyarakat dengan suasana globalisasi yang kental ini. Lagi pula, orang Papua itu senang kok diberikan pakaian. Bahkan di suatu film dokumenter, seorang gadis Papua berkata bahwa dia merasa prihatin melihat wanita-wanita di ibu kota. Menurutnya, wanita di ibukota itu sedang “belajar telanjang.”. Jujur sajalah, kalian pun mahasiswa yang pernah menertawakan ketelanjangan mereka bukan? Bayangkan perasaan orang Papua jika mereka tahu kalian menertawakannya.

Bagaimana cara seseorang menyimpulkan sesuatu benar atau salah memang bergantung pada informasi apa saja yang sudah didapat dan atas dasar apa dia berpijak. Jika anda seorang muslim, nilailah pornografi dan ketelanjangan sebagaimana ajaran islam menilainya. Mungkin munafik jika kita harus menggunakan ajaran islam dalam menilai sedangkan kita menyukai apa yang dilarang Islam, tapi sesungguhnya amat sangat lebih munafik bila kita mengaku beragama islam tapi dalam hati kita tidak mau mematuhi islam.

Ini bukan tergantung dengan perilaku manusia. Ini tergantung dengan sistem kawan!!!

(pocong, dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar